Belum lama telah beredar pernyataan dari Aparatur Negara alias Polisi di berbagai media pemberitaan nasional. Pernyataan yang muncul karena adanya suatu grafiti yang bertuliskan “Sudah Krisis Saatnya Membakar” ditemukan di berbagi tempat. Entah tidak tahu siapa yang melakukan.
Pernyataan Polisi kepada media pemberitaan, ialah “Kelompok Anarko rancang akan melakukan penjarahan se-Pulau Jawa pada 18 April 2020”. Kelompok Anarko seperti apa yang bapak maksud? Mungkin, Aliansi NARapidana terKOmando (ANARKO) yang belum lama ini dibebaskan.
Pernyataan itu mengundang resah di kalangan masyarakat. Selain itu para penggiat Anarko merasa tertuduh sebab dijadikan kambing hitam akan hal tersebut. Mengenai hal ini, apakah polisi hanya mencoba membuat sensasional untuk memanipulasi ketidakmampuan Negara dalam menangani krisis pandemi.
Menurut Martin Suryajaya seorang filsuf mengatakan, pelaku yang telah ditangkap oleh kepolisisan bukan merupakan Anarko. Polisi hanya over reactive terhadap kasus tersebut.
Proyek anarkisme dalam krisis pandemi saat ini adalah menciptakan tempat tinggal bagi tunawisma, memberikan makanan gratis dengan slogan food not bomb dan perjuangan akar rumput lainnya. Persaudaraan Pekerja Anarko-Sindikalis (PPAS) menyatakan proyek Anarko bertujuan, adanya sebuah masyarakat yang didasarkan pada kebebasan, bantuan timbal balik (mutual aid), federalisme dan administrasi sendiri, sekaligus bermaksud memperjuangkan perbaikan situasi sehari-hari masyarakat pekerja.
Jadi bukan seperti narasi yang disebarkan, untuk melakukan penjarahan, vandalisme dan membuat keonaran. serta bertujuan membuat tatanan dunia baru tanpa pemerintahan seperti dikatakan Pius Pelaku (maling helm) sebagai A1 Ketua Anarko Sindikalis Indonesia (ASI) yang telah ditangkap oleh Polisi. Narasi serampangan Polisi tentang penjarahan dan vandalisme bisa menjadi stigma buruk dalam masarakat kepada kelompok Anarko, ujar Arip Yogiawan Ketua Kampane dan jaringan YLBHI.
Narasi penjarahan dan vandalisme jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Penjarahan berarti /pen’ja’ra’han/ n proses, cara, perbuatan menjarah (merebut dan merampas milik orang) sedangkan vandalisme berarti /va’ndal’is’me/ n 1. Perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya); 2. Perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.
Rujukan tentang narasi penjarahan dan vandalisme dari KBBI mungkin sudah cukup menjelaskan. sebagaimana narasi jahat itu telah dituduhkan kepada kelompok anarko. Namum apakah kita boleh mengembalikan tuduhan ini, kepada pemerintah yang sedang merancang RUU Omnibus Law. Karena Rancangan itu adalah cara negara untuk melakukan penjarahan dan vandalisme terhadap hak rakyat serta sumber daya alam se-Indonesia.
RUU Omnibus Law ini berisikan rancangan penjarahan terhadap setiap hak rakyat, terutama para pekerja. Mereka sebelumnya sudah lama memperjuangkan hak yang belum terpenuhi sampai saat ini. Namun harus memikul beban berat setelah kemunculan rancangan RUU Omnibus Law apalagi jika disahkan. Bukannya memenuhi hak pekerja, tapi malah makin mengancam dan menjarah haknya. Bukankah ini perbuatan merebut dan merampas?
Selain itu, Rancangan vandalisme dalam RUU Omnibus law ini juga jelas menyasar terhadap keindahan sumber daya alam dan ruang hidup masyarakat ikut terdampak. Rancangan ini menyebabkan adanya vandalisme di tempat-tempat seperti gunung-gunung yang sering kita daki, ditambang, tebing-tebing yang kita panjat dihancurkan, hutan-hutan yang kita jelajahi, ditebang dan lahan pertanian yang hasil panennya kita makan, di alokasikan menjadi kawasan industri. Bukankah hal ini juga perbuatan merusak dan menghancurkan?
Kemungkinan besar RUU Omnibus Law ini adalah cara Negara untuk melakukan penjarahan dan vandalisme dalam skala besar di seluruh Indonesia, jika itu benar-benar disahkan. Dibandingkan pernyataan polisi yang menyasar kepada kelompok anarko dalam melakukan aksi penjarahan se-jawa pada 18 April 2020. Aksi tersebut hanya sebatas analisis serampangan. Berbagai kalangan pengiat Anarko menyangkal akan terjadinya tindakan bodoh seperti itu, serta menyampaikan sebuah pesan grafiti sarkas “Rajin membaca jadi pintar, Malas membaca jadi polisi. Pesan itu seolah-olah menggambarkan polisi selalu serampangan dalam melakukan tindakannya, entahlah.
Oleh : Yassir Fuady