Krisis iklim sangat terasa oleh semua kalangan, gagal panen akibat banjir maupun kekeringan, konflik lingkungan yang diakibatkan oleh energi batubara merupakan salah satu contoh dari krisis iklim saat ini. Kegelisahan tentang krisis iklim mulai mencuat dan hangat diperbincangkan ke publik saat Greta melakukan aksi mogok di sekolahnya setiap hari Jumat. Tepat satu tahun setelah aksi Pertama kali Greta dan di dalam keputusan sikap Indonesia pada sidang PBB untuk perubahan di New York, Amerika Serikat (23/9).
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap perubahan iklim dan ekstrem. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia rentan terhadap peningkatan muka muka laut. Hal ini juga akan berdampak terhadap penghidupan warga Indonesia, di memenangkan sebagian besar petani. Belum lagi kondisi yang rapuh ini diperparah dengan laju deforestasi dan kebakaran hutan tidak terkontrol yang menimbulkan bencana besar, penggunaan energi batu bara berlebih yang meracuni udara, tanah dan laut kita.
Indonesia sendiri telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca nasional sebesar 29 – 41% pada tahun 2030. Disetujui dalam NDC (2015), emisi Indonesia (63%) adalah hasil dari hutan kebakaran dan gambut, dengan bahan bakar yang menyumbang sekitar 19% dari total emisi. Kontribusi Indonesia dalam mendukung dan mempertahankan bumi tidak lebih dari 1,5 derajat sangat penting. Karenanya, krisis harus dipilih sebagai program yang dipilih presiden terpilih.
Indonesia, membahas di Jakarta, mengadakan tema dengan tema “Jeda Untuk Iklim” yang diikuti oleh lebih dari 50 komunitas termasuk KMPLHK RANITA UIN Jakarta dan Indonesia.
Tindakan ini dilakukan dengan menyelesaikan kegiatan. Masjid Cut Meutia terpilih sebagai kumpul awal peserta aksi sementara lainnya ikut di Balai Kota DKI Jakarta.
Peserta Aksi kemudian berjalan menuju Taman Aspirasi yang berhadapan langsung dengan Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta untuk menyanyi, berorasi, menyampaikan aspirasi yang diterima setiap saat berbicara tentang sholat Ashar.
Menurut Azka dari Enter Nusantara mengatakan bahwa ini adalah alasan yang harus di permasalahkan agar pemerintah dapat lebih serius untuk memecahkan masalah-masalah dalam bidang lingkungan, karena lebih banyak kerumitan yang berkaitan dengan masalah ini yang ditanggapi seperti main-main. Berita hangat yang masih terdengar di telinga kita tentang Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 2015 – 2019 tidak mau membuka nama perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan. “Eh, Lu serius dong, tolong, kita ga serius memperbaiki kita aja yang jabat.” Ungkapnya sambil bercanda
Kinan yang diambil dari santri pesantren Misykat Al Anwar Bogor mengatakan, “Alasannya datang jauh mengikuti aksi hari ini untuk membantu menyadarkan kepada banyak orang bahwasanya bumi kita kaya sudah memanas, kalo kita tidak bergerak dari sekarang, kapan lagi? Jika bumi kita nanti hancur, kita tinggal dimana? ”
“ Kita tidak punya planet kedua dan tidak perlu menunggu bencana kedua. Ini adalah aksi pertama saya, sangat beruntung bisa berkontribusi antara banyak orang di Indonesia. Semoga Jokowi dapat mendengar dan melakukan perubahan untuk bergerak bersama – sama melakukan perubahan membenahi Indonesia. ”Ujarnya.
Agus, salah satu peserta aksi yang datang jauh dari Batang masih melawan keberadaan perusahaan pertambangan ditempat tinggalnya karena telah mencemari lingkungan tersebut. Dia menyampaikan, “Kami jauh – jauh dari Batang untuk ikut menyuarakan terkait Krisis Iklim, bagi kami krisis iklim adalah bagian dari apa yang diakibatkan oleh PLTU batubara. Saat ini Pembangunan Batubara dibangun terus-menerus oleh pemerintah kita. “Tempat di mana kita sudah membangun PLTU dengan kapasitas produksi mencapai 2000 Megawatt”
Agus menambahkan, “PLTU selalu memberikan yang buruk bagi masyarakat bahkan sejak PLTU yang belum beroperasi. Mulai dari kriminalisasi, perampasan tanah, penyempitan ruang hidup baik di laut dan didarat, belum lagi uang – uang yang dikeluarkan untuk membungkam kami – kami yang mengganti PLTU. Revolusi energi menjadi satu – satunya harapan kompilasi presiden tidak mampu membebaskan orang – orang yang menolak PLTU dan sebaliknya presiden memilih sikap yang berlawanan. ”
Sudah sewajarnya bagi kita bersama – sama menyuarakan kegelisahan terkait krisis untuk pemerintah. Semoga dengan adanya aksi – aksi ini buat pemerintah mendengarkan para ilmuwan dan mengumumkan daruratnya. Juga meningkatkan ambisi dalam mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) semaksimal mungkin. Selaku masyarakat, sebagai refleksi untuk kita tentang apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki karena krisis.
oleh: Rahmat Fauzi