Manusia dan Lingkungan: Interpretasi Etika Antroprosentris

Permasalahan lingkungan sudah menjadi keresahan seluruh umat manusia, hal yang paling sederhana bisa dibuktikan adalah ketika cuaca sudah sekian signifikan menghambat proses tanam para petani karena musim yang sulit untuk diprediksi, maka bisa dipastikan ini menjadi masalah seluruh umat manusia yang masih butuh hasil panen para petani untuk kebutuhan makan sehari-hari, kecuali kita sudah tak butuh makan sama sekali. Betul atau tidak?

Permasalahan lingkungan ini terjadi bukan karena lingkungannya yang bermasalah, entah disepakati atau tidak, bagi saya yang bermasalah adalah manusia yang ada di dalamnya, entah permasalahannya timbul karena praktik perilaku manusia, atau karena cara berpikirnya. Tanpa disadari ketika Anda sebagai pembaca mengamini contoh konteks yang saya tulis di atas, term “permasalahan lingkungan” dalam perspektif Anda berkonotasi pada prinsip antroposentris. Apakah antroposentris itu?

Antroposentris ialah salah satu dari doktrin etika yang berasal dari bahasa Yunani anthropos yang berarti manusia dan centrum yang berarti titik tengah atau pusat. Dalam pengertian lain, antroposentris merupakan konsep bahwa manusia menganggap dirinya makhluk pusat dari alam semesta dengan segala isinya. Atau dalam kalimat singkat seorang filsuf asal Jerman, Heidegger mengatakan bahwa “tanpa manusia, dunia tak tampak”. Sehingga dalam doktrin tersebut manusia menganggap bahwa dirinya adalah makhluk paling eksklusif yang berhak untuk mengeksploitasi sepenuhnya terhadap alam semesta dan segala isinya. Oleh karenanya, dari sekian banyak doktrin etika, antroposentris diidentifikasi oleh banyak penulis, paling besar menyumbang kerusakan ekologi, serta kepunahan flora dan fauna yang ada didalamnya.

Mempersoalkan konsep hidup ini penting adanya, termasuk mempersoalkan antroposentris. Karena manusia sebagai makhluk biologis, tidak dapat lepas dari kemantapan ekosistem di sekitarnya. Sedangkan konsep antroposentris cenderung melemahkan ekosistem dan merusak kelestarian lingkungan hidup. Ekosistem pada hakikatnya kompleks, namun kini disederhanakan dengan paksa, karena kebutuhan manusia. Seperti pengalihfungsian hutan corak multikultur menjadi corak monokultur untuk kebutuhan industri, pengalihfungsian pegunungan untuk kebutuhan pertambangan, pengalihfungsian lahan menjadi pemukiman yang tak terkendali dan lain sebagainya.

Menurut Beerling (Beerling, 1994) antroposentris berpijak pada pandangan efficient cause, yang dengan angkuhnya menganggap bahwa alam ada untuk manusia dengan mengesampingkan konsep logos, atau ketuhanan. Dalam hal ini permasalahan antroposentris bertentangan dengan konsep teologis yang normatif. Dimana manusia sebagai hamba Tuhan menjadi sempurna bukan dilihat dari kekuasaannya atas alam dan segala isinya, melainkan dengan menjalankan norma-norma Tuhannya.

Norma-norma dalam Islam mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam) sama halnya dengan hubungan manusia dengan manusia (hablum minan nas) karena dalam hal ini yang ada adalah hubungan secara vertikal yaitu ke atas, dengan Tuhannya, dan hubungan secara horizontal, yaitu dengan makhluk Tuhan yang lain (manusia dan alam). Jadi hubungan manusia dengan alam ialah bukan bentuk hubungan ke bawah atau hubungan antara penguasa dan yang dikuasai.

Antroposentris merupakan bentuk lain dari keangkuhan manusia dengan egosentrisnya. Ia tak lain adalah bentuk penjelmaan dari ke-aku-annya, merasa paling eksis, berkuasa, paling kuat dari makhluk lainnya. Sehingga ia merasa berhak melakukan apa saja dengan dalih intelektual atas pengetahuannya. Dengan itu ia merasa perlu untuk memisahkan eksistensinya dari alam, dan mendeklarasikan diri sebagai makhluk yang berkuasa atas alam atau setidaknya lebih mulia dari alam.

Pemisahan diri antara manusia dan alam ini kiranya seperti penjelmaan dari kisah leluhur manusia yaitu Adam dan Iblis. Dalam konteks pengabdian manusia pada Tuhannya, Iblis dikutuk oleh Tuhan karena sifat angkuhnya, merasa lebih tinggi, lebih mulia dari manusia. Sehingga dengan sifatnya, Iblis merasa berhak untuk menolak perintah Tuhannya untuk bersujud kepada Adam.

Tentu saja permasalahan manusia dengan konsep antroposentrisnya tidak sesederhana kisah Adam dan Iblis yang tersurat dalam kitab suci. Namun ia melewati perjalanan panjang, sepanjang sejarah pemikiran manusia. Menurut Beerling konsep antroposentris dapat ditelusuri dari perjalanan sejarah filsafat modern, antara tahun 1600-1900 M (Beerling, 1994). Saat itu ada fenomena bahwa subyektifitas manusia adalah yang utama. Maka manusia menganggap bahwa alam bergantung kepada manusia.

Subyektifitas manusia kemudian menjadi dasar kemajuan peradaban modern. Subyektifitas ini menjadi pernyataan kebebasan atas norma-norma teologi yang tidak dapat dijangkau dengan akal manusia. Dengan begitu manusia merdeka untuk melakukan pengembangan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan pola peradaban mengantarkan manusia pada akal-sentris, pemikiran kausal yang bersifat mekanistis tanpa terikat pada norma apapun. Konsep pemikiran manusia tanpa norma membuat ia bebas melakukan apa saja, termasuk dalam mengeksploitasi alam.

Konsep kemajuan peradaban modern dalam prinsip antroposentris mempunyai sumbangsih besar pada perkembangan teknologi industri dalam memenuhi standar kebutuhan hidup manusia yang kian bias dan tanpa batasan. Sehingga, apapun pencapaiannya tergantung dari sejauh mana manusia bisa hidup nyaman dengan mengesampingkan dampak kerusakan yang ada, termasuk kerusakan tatanan alam. Dampaknya, alam habis-habisan dieksploitasi untuk kebutuhan industri, demi memanjakan hidup manusia yang semakin absurd dengan orientasi egonya.

Dalam hal ini Prof. Nasaruddin Umar menulis hal yang sangat menarik tentang silaturahim dengan alam dan segala isinya (Umar, 2014). Dalam Islam, sejatinya tidak ada benda mati, karena di hadapan Allah SWT semua benda berdzikir kepada-Nya, termasuk benda-benda yang dalam istilah sains disebut abiotik. Sehingga, manusia hidup di bumi seyogyanya saling berinteraksi dengan makhluk lainnya, baik dengan manusia maupun alam dan segala isinya, sebagaimana Allah SWT menyayangi makhluk dengan rahman dan rahim-Nya.

Penulis: Solehuddin_KMPLHK RANITA
Editor: Sindy Indah_KMPLHK RANITA

1 thought on “Manusia dan Lingkungan: Interpretasi Etika Antroprosentris”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *