KESEJAHTERAAN BURUH DAN PETANI INDONESIA

Kesejahteraan buruh dan petani bukanlah suatu isu baru di Negara tropis nan indah ini. Dibalik keindahan Indonesia sebagai Negara berkembang yang baru saja di daulat sebagai Negara maju, terdapat berbagai masalah pelik yang dialami buruh dan petani belum terselesaikan. Oleh karena itu, Mayday dijadikan ajang mengeluarkan aspirasi dan keluh kesah bahwa selama ini kaum buruh belum sejahtera. Berbagi jenis kartu digelontorkan oleh pemerintah, namun tak ada satupun kartu yang dapat menyelamatkan kebutuhan rakyat. Tahun politik pun dijadikan momentum jual beli janji oleh para calon wakil rakyat. Padahal, belum tentu pemenang pemilu akan membawa perubahan yang signifikan bagi rakyat.

Sejalan dengan itu, petani pun mengalami ketidak sejahteraan , karena adanya perampasan lahan yang dilakukan baik oleh korporasi maupun oleh Negara. Sehingga, petani yang dirampas lahannya akan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan menjadi buruh dan akan bersaing dengan angkatan buruh lainnya. Dengan hal itu, pertanian tidak bisa dijadikan jaminan untuk masa depan mereka sehingga mereka terpaksa ke kota-kota untuk mencari pekerjaan sebagai buruh. Padahal sesuai dengan amanat konstitusi, pemerintah sudah sewajibnya memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan kaum buruh.

Walaupun UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dibuat dengan maksud untuk memberikan kesejahteraan buruh dan membatasi kekuasaan majikan/pemegang kekuasaan atas buruh, namun UU ini belum bisa mewakilkan kesejahteraan buruh, karena masih banyaknya pengusaha yang justru melanggar aturan tersebut, seperti pembayaran upah dibawah minimum, tidak membayar upah lembur, tidak mendaftarkan pekerja dalam jaminan social dan  kecelakaan kerja dan masih jarang nya penegak hokum mengimplementasikan isi dari UU tersebut. Selain itu, buruh pun sering kali berada dibawah dilema, yaitu adanya ancaman dari pengusaha yang pada akhirnya sanksi pidana dan administrative berubah menjadi perdamaian. LBH Jakarta mencatat bahwa selama tahun 2017 korban tindak pidana perburuhan di JABODETABEK dan Karawang berjumlah 1287.

Hal ini diperparah oleh kebijakan pemerintah mengadakan Omnibus Law secepat-cepatnya ditengah keadaan rakyat yang menolak adanya omnibus law, dan ditengah kondisi COVID 19. Omnibus Law ini dinilai berisi peraturan-peraturan yang tidak memihak rakyat, tapi lebih memihak pengusaha dan investor. Isi dari Omnibus Law seperti tidak adanya upah sektoral, upah dinilai per jam, tidak adanya cuti haid, AMDAL dihapuskan, tidak adanya pembatasan penggalian tambang, dll. Selain itu, pengesahan yang terlalu terburu-buru tanpa adanya naskah akademik dan pendekatan terhadap rakyat dinilai telah menyalahi prosedur yang ada. Dan adanya pemaksaan untuk mengesahkan Omnibus Law ini semakin menimbulkan kecurigaan rakyat terhadap pemerintah bahwa memang ada suatu tujuan atau target yang sedang dicapai oleh pemerintah sehingga mengesampingkan kesejahteraan dan aspirasi rakyat Indonesia.

Di tulis oleh : Hartini Diah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *