Benarkah Pengesahan Omnibus Law Terkesan Kejar Tayang?

Akhir-akhir ini hampir seluruh negara sedang tidak baik-baik saja. Terdapat penyebaran virus Covid-19 yang cukup masif, menyerang tiap-tiap manusia secara global. Hal ini berdampak terhadap aktifitas masyarakat yang dibatasi untuk mengurangi risiko dari penyebaran virus Covid-19 tersebut.

Indonesia pun juga termasuk negara yang terdampak. Meskipun pada awalnya para pejabat pemerintah menyepelekan virus Covid-19. Namun pada akhirnya kewalahan dalam menanganinya, karena terdapat beberapa keterbatasan alat medis. Apakah selain itu, ada sesuatu hal yang lebih penting selain menangani virus ini?

Penyebaran virus Covid-19 ini memang menyerang masyarakat secara umum dengan cepat bahkan hinga menimbulkan kematian. Namun hal tersebut tidak menghalangi para pejabat pemerintah, Khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membahas Revisi Undang-Undang (RUU) Celaka, Cilaka, eh Cipta Kerja Omnibus Law, yang bermasalah ini. Mungkin karena mereka sudah merasa aman sebab telah mengikuti Rapid Test Covid-19 jalur cepat. Alih-alih berpendapat, namanya juga wakil rakyat, jadi yang seharusnya untuk rakyat diwakilkan oleh mereka.

Entah mengapa RUU Omnibus Law ini seperti kejar tayang dalam prosesnya, yang diam-diam menyelinap bagaikan virus kedua yang mengancam kehidupan masyarakat selanjutnya. Dalam pembahasan dan pengesahannya pun jalannya mulus, halus dikalangan DPR walaupun ditengah krisis kesehatan. Padahal sejak munculnya rancangan RUU Omnibus Law ini sudah banyak menuai kontroversi dan polemik dari berbagai kalangan. Adapun pembahasannya hanya melibatkan segelintir pihak dan drafnya tak dibagikan lewat kanal resmi pemerintahan. Apakah isi dari RUU Omnibus Law ini hanya lebih mengutamakan kepentingan suatu kelompok yang harus disegerakan, dari pada isinya untuk kepentingan masarakat?

Seperti sinetron saja dalam proses pembuatan tergesa-gesa karena harus kejar tayang, mementingkan rating tapi krisis akan nilai.

RUU Omnibus Law ini memang produk kejar tayang. Dalam keadaan krisis kesehatan saat ini saja pembahasan sudah selesai oleh Badan Musyawarah (Bamus), hal yang cepat bukan?

Mereka pun telah menyerahkan draft RUU Omnibus Law ke Badan Legislasi (Baleg) dan akan diagendakan pembahasan lanjutan pekan depan bulan ini bersama pemerintah dan Kabinet menteri lainnya. Dalam pembahasan lanjutan, Panitia Kerja (Panja) dibentuk oleh Baleg mereka melakukan uji publik yang akan menampung aspirasi dari berbagai kalangan. Apakah ini benar akan dilakukan? Atau hanya akal bulus mereka, kita tunggu saja. Setelah itu, draf RUU Omnibus Law ini akan diserahkan ke beberapa fraksi Partai Politik (Parpol) untuk dikaji, walaupun pada dasarnya 75 persen Parpol mendukung RUU Omnibus Law ini. Mimpi-mimpi Pemerintah dan berbagai Parpol pun sudah ditanggalkan dan mengharapkan kejar tayang RUU Omnibus Law ini sah pada 17 Agustus saat hari kemerdekaan Indonesia.

Untuk itu seluruh elemen masyarakat harus kompak menolak klaster-klaster dalam RUU Omnibus Law yang menuai kontroversi dan polemik untuk masyarakat. Oleh karena itu sistem kejar tayang dalam RUU Omnibus Law dan Undang-undang lainnya yang menggunakan sistem semacam ini tidak boleh terjadi. Dimana dalam proses pembuatan, pembahasan dan pengesahannya melalui cara terburu-buru, instan dan sedikit riset dalam melibatkan segelintir masyarakat untuk beraspirasi. Padahal itu semua akan mengatur proses kegiatan dalam bermasyarakat. Pembuatan undang-undang semacam itu akan mencederai Demokrasi Negara Indonesia karena produknya hanya akan dirasakan segelintir kelompok saja, tidak untuk seluruh rakyat Indonesia.

Oleh: Yaasir Fuady

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *