Berlibur atau sekedar menikmati indahnya daerah pesisir memang lah indah untuk dilakukan. Apalagi saat musim liburan telah tiba, sangat bahagia jika dapat berkunjung ke sana bersama keluarga. Namun, berita akan diterbitkannya pemanfaatan ruang laut khususnya di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Januari 2019 menjadi tanda tanya apakah kita masih bisa menikmati indahnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil? Atau justru menimbulkan permasalahan baru di pulau kecil?
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan sebuah rencana yang dibuat oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam rangka menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan alokasi ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.
Menurut Brahmantya Satyamurti Poerwadi selaku Diretur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP bahwa saat ini terdapat 17 provinsi yang telah menetapkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) adalah Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, DI. Yogyakarta, Lampung, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Sedangkan status 17 provinsi lainnya saat ini terbagi atas 4 Provinsi telah dievaluasi Kementerian Dalam Negeri yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Jawa Barat. Terdapat 2 provinsi yang sedang dalam tahap pembahasan dengan DPRD yakni Aceh dan Bengkulu. Serta 11 provinsi lainnya masih dalam proses penyelesaian Dokumen RZWP-3-K.
Adanya kesempatan bagi provinsi untuk menentukan peluang investasi dalam pengelolaan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil akan menjadi berkah apabila dapat dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat pesisir dan dilakukan secara berkelanjutan. Ironisnya, jika suatu daerah diijinkan berinvestasi terhadap tambang menyebabkan potensi hilangnya sumber daya air, pangan, dan konflik sosial yang dapat berujung pada pelanggaran HAM. Salah satu pulau kecil tersebut terletak di pulau Bunyu, Kalimantan Utara.
Pulau Bunyu. Terletak di Kabupaten Tarakan, Kalimantan Utara. Luas pulau yang hanya 198,32 km persegi telah terjadi eksplorasi minyak, gas dan batubara yang sudah berjalan hingga sekarang. Secara administratif, di pulau ini terdapat tiga desa yakni Desa Bunyu Barat, Desa Bunyu Timur dan Desa Bunyu Selatan. Di bagian utara pulau, telah dikuasai oleh ekstraksi batu bara. Di bagian tengah telah dikuasai Pertamina. Dan di sisi selatan pulau, didominasi oleh permukiman. Sumber air utama di pulau ini yakni Sungai Ciput, Sungai Barat, dan Sungai Lumpur telah lama dikonsumsi warga, kini tercemar dan mengalami kekeringan. Selain itu, pertambangan di pulau-pulau kecil juga berdampak pada penghancuran sumber pangan warga. Di Pulau Bunyu, padi (sawah dan ladang) hilang dimangsa tambang sejak 2015.
Kejadian alih fungsi kawasan juga terjadi di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dengan pulau yang memiliki luas 867 km persegi, pulau ini telah terdapat lebih dari 15 izin pertambangan yang dilakukan pemerintah daerah. Alih-alih memberikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar, kehadiran perusahaan tersebut malah memberikan dampak buruk hubungan sosial sesama masyarakat Konawe Kepulauan (Konkep) dan memberikan peluang kepada korporasi untuk pintu masuk bagi pengrusakan alam dan kelestarian lingkungan di pulau tersebut. 15 ijin tambang tersebut mulai dari tambang galian C hingga tambang mineral beroperasi dibumi Pulau Kelapa tersebut.
Padahal beberapa tahun lalu, Aktivitas tambang tersebut kemudian dihentikan ratusan warga Desa Polara dan Tondongito Kecamatan Wawonii Tenggara, yang menolak kehadiran perusahaan pengolahan pasir Krom tersebut dengan membakar komplek pabrik serta peralatan PT. Derawan Berjaya Mining.
Baru-baru ini, ratusan masyarakat dan mahasiswa kembali menggelar aksi penolakan tambang. Pasalnya, belakangan diketahui muncul 18 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang aktif di Konkep. Salah satunya PT Gema Kreasi Perdana yang berencana masuk di wilayah Roko-Roko Raya Kecamatan Wawonii Tenggara.
Demo yang berlangsung di pelataran Kantor Bupati Konkep itu berhasil mendesak pemerintah daerah ikut menolak adanya penambangan di Wawonii. Karena kewenangan pencabutan IUP berpusat di Pemerintah Provinsi Sultra, aksi berlanjut sampai di DPRD Provinsi.
Padahal selama ini masyarakat Wawonii hidup dalam suasana kerukunan. Namun, sejak masuknya puluhan perusahaan tambang, masyarakat mulai terpecah dalam kelompok-kelompok yang mulai mengarah pada ancaman konflik horizontal, dan ini sangat berbahaya. Belum lagi ancaman kerusakan lingkungan.
Mengungsi di kampung sendiri
Diriku sudah menetap sebelum kau kemari
Membangun peradaban baru dengan bermigrasi
Pulau kecil ku yang semula damai
Kini kau datang membawa kepentingan pribadi
Aku terhimpit diantara oligarki
Di pulau dimana aku tinggali
Alat berat mengambil energi dan mineral disini
Sementara kami menanggung bencana yang terjadi
Aku rindu suasana sendu di pantai
Sambil menikmati roti dan secangkir kopi
Kini, tempat kami sudah terkavling oligarki
Seperti mengungsi di kampung sendiri
Menanggapi hal itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah memberikan informasi bahwa di dalam UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah diatur suatu daerah dengan luas wilayah kepulauan di bawah 2.000 kilometer persegi dilarang dijadikan lokasi penambangan.
“Tambang di sana menabrak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara nomor 2/2014 yang menegaskan, Pulau Wawonii masuk Kabupaten Konawe kepulauan bukan diperuntukkan kawasan pertambangan.” Ujar dia. Ia juga menjelaskan, keberadaan tambang di wilayah kepulauan yang kecil bisa berdampak pada rusaknya ekologi di daerah tersebut. Sebab, kata dia, pulau kecil tidak memiliki infrastuktur ekologi yang cukup. Semakin kecil luasnya, semakin terbatas sumber infrastuktur alamnya. “Kalau Pulau Kecil itu ditambang dampak rusaknya sumber-sumber air. Sisanya itu kan air laut dan tidak bisa diminum,” jelas dia.
Menilik pada pasal 23 (2) Undang- Undang Nomor 1 tahun 2014 mengamanatkan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan dan atau pertahanan dan keamanan negara.
“Dengan menjadikan pulau-pulau kecil sebagai wilayah pertambangan dan perkebunan, Pemerintah melanggar pasal 23 (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014,” ujar Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo.
Pengelolaan ruang laut, pesisir dan pulau–pulau kecil yang berkelanjutan dengan prioritas pada konservasi, budidaya laut dan pariwisata dapat meningkatkan usaha nelayan, petani dan warga disekitar pulau kecil tersebut, sehingga masyarakat tidak memerlukan usaha ekstraktif seperti tambang masuk kedalam wilayahnya . Kita juga masih dapat menikmati keindahan pulau –pulau kecil.
Berangkat dari berbagai temuan di atas, dapat disimpulkan pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia melalui Perda RZWP3K terbukti tidak berpihak kepada masyarakat, merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang telah lama hidup di kawasan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Kehadiran Perda RZWP3K seharusnya menguatkan posisi masyarakat pesisir dalam mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan. Kenyataannya, baik Perda yang telah disahkan maupun yang tengah dibahas, ternyata melemahkan masyarakat bahkan melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat. Menghentikan seluruh pembahasan RZWP3K hingga seluruh perampasan ruang hidup berupa proyek reklamasi, penambangan pasir dan migas, industri pariwisata berbasis utang, konservasi berbasis utang, perkebunan kelapa sawit, dan pembangan infrastruktur untuk pelabuhan serta industri maritim, di dalam Perda tersebut dikeluarkan dan diharapkan kepada pemerintah untuk segera mengevaluasi seluruh Perda Zonasi yang telah disahkan di 21 Provinsi dan membatalkan seluruhnya karena di dalamnya banyak pasal yang melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat pesisir.
Tak hanya itu, bekas limbah pertambangan yang telah tercampur di pulau kecil, pesisir dan lautan perlu dilakukan pembersihan, agar keanekaragaman hayati seperti alga, terumbu karang yang merupakan rumah dan makanan bagi beberapa jenis ikan laut dapat dilestarikan dan masyarakat tidak jauh hingga tengah lautan dalam mencari ikan dan menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 3 Tahun 2010 di dalam menata ruang di kawasan pesisir, laut, dan pulau – pulau kecil. Putusan ini telah memberikan rambu-rambu penting dalam menata tata ruang kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama.
Penulis: Rahmat “Uwawe” Fauzi