SEXY KILLERS, SISI GELAP DIBALIK KENYAMANAN TAMBANG

Watchdoc telah meluncurkan film documenter sepanjang 88 menit pada hari jumat (5/4/2019). Berbagai daerah telah mengadakan nnton bareng (nobar), seperti Semarang, Samarinda, Surabaya, Kupang, Makassar, Jakarta, Tegal, dan daerah lainnya. Banyak sekali penonton dari berbagai kalangan yang sangat antusias dalam menikmati film tersebut. Salah satu contohnya adalah nonton bareng yang diselenggarakan oleh KMPLHK RANITA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari senin (8/4/2019) kemarin.

Setidaknya ada 200 orang yang mengahadiri nobar “sexy killers” tersebut, dengan pemantik Ki Bagus Hadi Kusuma selaku narasumber JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Athari Farhani, s.h. selaku ketua DPC PERMAHI tangerang (Persatuan Ilmu Hukum Indonesia), dan Bang Jalil (Anggota KMF KALACITRA UIN Jakarta). Mereka telah memaparkan seperti apa tambang sebenarnya, bahwa dibalik semua keuntungan bagi kalangan yang berkepentingan tersembunyi pula banyak jerit tangis kalangan yang tereksploitasi. Semua peserta pun hanyut dalam diskusi yang ditemani oleh berbagai suguhan yang disediakan oleh panitia.

KMPLHK RANITA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan nobar tersebut dengan tujuan untuk memberitahukan dan menyadarkan masyarakat khususnya mahasiswa bahwa ada banyak sekali sisi gelap yang disuguhkan oleh pertambangan dan bahkan pemerintah pun selaku pemilik kekuasaan turut serta didalam lingkaran tersebut.
“setelah nonton film ini saya jadi tau bagaimana sebenarnya system kerja tambang berjalan, dan bagaimana oligarki di dalamnya,” kata dinda, selaku mahasiswa ilmu hukum yang turut serta mennonton film sexy killers.

Sexy killers merupakan bagian terakhir dari beberapa film documenter ekspedisi Indonesia biru yang diadakan oleh watchdoc. Film ini hasil dari perjalanan selama sekitar setahun yang dilakukan oleh dua jurnalis videographer, yaitu dhandhy dwi laksono dan ucok suparta pada 2015. Menurut Dhandy selaku sutradara, bahwa inti dari sexy killers diambil dari lokasi Kalimanatan Timur.

Selama waktu tersebut mereka menempuh perjalanan dengan menggunakan sepeda motor dari Jakarta ke Bali, Sumba, Papua, Kalimantan, Sulawesi, lalu kembali ke Jawa. Dari perjalanan ekspedisi tersebut mereka telah menghasilkan 12 film documenter yang berisi tentang berbagai isu baik ekonomi, lingkungan, social, maupun budaya. Salah satu film yang mereka hasilkan adalah GORONTALO BAIK, ASIMETRIS, MADE IN SEIBERUT, kala benoa, dan sexy killers.

Sexy killers menghadirkan sisi gelap dari berbagai pertambangan pada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dari banyaknya pertambangan yang telah disetujui oleh pemerintah, terdapat banyak sekali korban yang telah direnggut hak-haknya. Padahal Negara telah menjamin hak tersebut, yaitu bahwa rakyat berhak mendapatkan kesejahteraan sebasar-besarnya sesuai dengan pasal yang tertera dalam UUD 1945, dimana pasal tersebut terdapat dalam hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan negara republic Indonesia.

Korban-korban tersebut muncul dari kalangan bawah seperti petani, nelayan, warga setempat, suku adat, dan kalangan rentan lainnya. Pertambangan yang selalu diidam-idamkan memang mampu mengubah kehidupan rakyat, namun ke arah yang lebih buruk karena hanya kalangan yang berkepentingan saja yang mendapatkan keuntungannya.

Sexy killers telah memperlihatkan para korban “pembunuhan” batubara dari hulu ke hilir. Di lokasi penambangan KALTIM, misalnya, petani dari jawa dan bali yang melakukan transmigrasi pada zaman orde baru kini harus berhadapan dengan industrI penambangan batubara. Kehidupan mereka telah tergusur, oksigen mereka telah direnggut, dan masa depan mereka pun dihantui oleh ketakutan. Namun, suara mereka tak pernah didengar atau bahkan dibaikan. “ Dulu sebelum ada bangunan batubara, sawah tidak rusak. Tidak amburadul. Sekarang sejak ada tambang, rakyat kecil malah sengsara. Yang enak, rakyat yang besar. Ongkang-ongkang kaki terima uang. Kalua kita terima apa? Terima imbasnya. Lumpur..” kata seorang petani yang tidak disebutkan namanya dalam film tersebut.

Lubang-lubang bekas tambang yang saat ini ditinggalkan dibiarkan begitu saja tanpa adanya penanganan sehingga ada banyak korban. Dalam film sexy killers, pada kurun 2011-2018 ada 32 orang mati tenggelam di lubang tambang di KALTIM. Secara nasional pada kurun waktu 2014-2018 terdapat 115 orang meninggal dunia.

Menurut data dari jatam, sejak januari hingga 19 maret 2019 sudah 32 anak-anak yang tewas tenggelam di lubang tambang beracun batu batu Kalimantan Timur. Dari seluruh korban meninggal itu, hanya ada satu kasus yang ditindak lanjuti pemerintah daerah Kalimantan Timur, yakni kasus tewasnya korban atas nama Emalia Raya Dinata (11 tahun) dan Dede Rahmad (11 tahun) di lubang tambang milik PT. Panca Prima Mining. Ironisnya, proses penegakan hukum itu, hasil akhirnya hanya dikenakan denda administrasi 1000 rupiah dan hukuman penjara dua bulan bagi petugas keamanan perrusahaan. Anehnya pihak perusahaan sendiri ridak ditindak dan dibiarkan tetap beraktifitas hingga saat ini.

Dari pemaparan diatas, banyak sekali sisi gelap dari pertambangan dan masyarakat bawahlah yang sangat merasakan dampak negatif pertambangan tersebut. Banyak yang direnggut dari kehidupan mereka karena adanya pertambangan. Disini timbul pertanyaan, dimana peran pemerintah berdiri? kapan pasal-pasal yang mereka buat untuk rakyat harus berlaku? Dan masih adakah tameng untuk rakyat?. Ya, kapan semua hal itu berlaku untuk kesejahteraan rakyat? Haruskah kami menunggu sampai tidak ada rakyat yang tersisa? (Pen. Samsara)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *