Secara historis, penulis mengamati bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir diketahui telah terjadi lebih dari 10 bencana skala besar dan menengah di Indonesia. Dampak fisik bencana tersebut secara langsung menyebabkan terganggunya aktivitas pendidikan yaitu berupa kerusakan 47.568 atau 18% dari total sekolah yang ada di Indonesia (Seknas SPAB, 2018). Bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh (2004), Pangandaran, Sukabumi (2006), Mentawai (2011), Yogyakarta (2006), Sumatera Barat (2009), Bener Meriah Aceh (2013), Pidie Jaya Aceh (2016), NTB (2018), Sulawesi Tengah (2018); letusan Gunung Merapi (2010), letusan Gunung Sinabung mulai 2011 sampai sekarang, letusan Gunung Agung (2017), Banjir Bandang Bima 2016, hingga banjir rutin tahunan yang terjadi di wilayah Jakarta dan beberapa daerah lainnya di Indonesia. Riwayat bencana tersebut bukan hanya menghancurkan bangunan fisik sekolah, melainkan juga berdampak terhadap keselamatan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, termasuk hilangnya kesempatan peserta didik untuk tetap melanjutkan kegiatan pembelajarannya secara formal.
Dalam kondisi tanggap darurat bencana, penulis mengamati bahwa seringkali anak-anak yang berhenti bersekolah disebabkan gangguan psikososial, kehilangan anggota keluarga, terasingkan dari wilayah rumah terdampak atau menjadi korban dari bencana alam yang tidak terduga sebelumnya. Dampak lainnya, mereka mungkin akan menjadi rentan terpisah dari keluarga atau kerabat terdekatnya sehingga memiliki peluang besar untuk dieksploitasi secara negatif oleh oknum tertentu. Penulis memahami bahwa masyarakat yang berjuang menghadapi hal-hal tersebut sebagai akibat dari ketidakstabilan, terbatasnya sumber daya dan ancaman kekerasan. Sehingga, mereka memfokuskan diri pada bagaimana mereka dapat bertahan hidup pasca mengalami dampak bencana tersebut. Sulit kiranya untuk mendapatkan sumber daya bagi pendidikan saat masa tanggap darurat bencan diberlakukan. Padahal, secara empiris menunjukan bahwa fungsi pendidikan diyakini dapat menyelamatkan dan mempertahankan hidup khususnya pada masyarakat yang terdampak oleh bencana, dengan cara memberikan perlindungan fisik bagi anak-anak, memberikan dukungan psikososial dan keterampilan juga pengetahuan untuk bertahan hidup.
Respon pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 72 Tahun 2013 menetapkan adanya salah satu bentuk penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) berupa pendirian satuan pendidikan darurat yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak–anak yang mengalami situasi darurat akibat bencana alam dan/atau bencana sosial. Penyelenggaraan satuan pendidikan darurat merupakan bagian dari kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana di bidang pendidikan yang meliputi: penetapan kebijakan pendidikan yang tanggap terhadap bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, serta pemulihan pasca bencana. Sehingga, kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan darurat tidak saja berupa bentuk respon atas terjadinya bencana, namun bisa berupa kegiatan perencanaan penyelenggaraan satuan pendidikan darurat saat kondisi normal pada daerah rawan bencana.
Keputusan untuk mendirikan satuan pendidikan darurat didasarkan pada penetapan status keadaan darurat bencana oleh pimpinan pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang berwenang di lokasi yang terdampak. Karakteristik penyelenggaraan satuan pendidikan darurat adalah bersifat sementara sehingga semua upaya dan sumber daya yang tersedia harus dikerahkan secara optimal untuk memastikan bahwa anak-anak bisa mendapatkan hak pendidikan yang layak selama masa tanggap darurat bencana, peralihan tanggap darurat ke pemulihan sampai satuan pendidikan kembali pulih untuk menyelenggarakan layanan pendidikan. Jangka waktu penyelenggaraan satuan pendidikan darurat diputuskan berdasarkan evaluasi terhadap pemulihan layanan pendidikan pada aspek pengelolaan, sarana prasarana, proses pembelajaran, kondisi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan terdampak.
Model penyelenggaraan satuan pendidikan darurat disesuaikan dengan kondisi kedaruratan yang terjadi. Kondisi kedaruratan bisa berbeda sesuai dengan karakteristik dampak yang ditimbulkan dari kejadian bencana, sebagai contoh, pada kasus dari dampak kejadian gempa bumi akan berbeda dengan dampak bencana banjir, sehingga model penyelenggaraan satuan pendidikan darurat akan berbeda.
Adapun tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan darurat adalah:
a. Memberikan kesempatan kepada anak-anak yang mengalami bencana alam dan/atau bencana sosial untuk mendapatkan hak pendidikan.
b. Memperluas layanan akses pendidikan untuk lebih cepat setelah bencana terjadi, bagi anak usia sekolah yang merupakan anak–anak yang mengalami bencana alam dan/atau bencana sosial.
c. Memberikan pemenuhan kebutuhan lingkungan belajar yang aman, jaminan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi; serta pendampingan psikososial anak-anak yang terkena dampak situasi bencana alam dan/atau bencana sosial.
d. Meringankan dampak psikologis akibat bencana alam/atau konflik sosial dengan memberikan perasaan normal, kestabilan dan membangun harapan bagi masa depan anak.
e. Menyampaikan pesan-pesan penting yang berhubungan dengan risiko-risiko yang timbul dari sebuah kondisi darurat akibat bencana alam dan/atau bencana sosial.
Oleh sebab itu. perlu diperhatikan bagi stakeholder maupun volunteer untuk menganalisis beberapa permasalahan dan kebutuhan pendidikan dalam situasi darurat agar penyelengaraan pendidikan dapat berjalan secara maksimal, antara lain:
1. Rusaknya sarana prasarana di satuan pendidikan;
2. Terputusnya akses ke satuan pendidikan;
3. Siswa dan guru berstatus sebagai korban luka dan jiwa;
4. Siswa dan guru mengalami kerusahakan rumah secara fisik dan mengungsi ke tempat yang lebih aman;
5. Psikososial untuk siswa dan guru yang mengalami gangguan perkembangan mental;
6. Tidak boleh ada kegiatan di sekitar satuan pendidikan karena ancaman bahaya di daerah tersebut, misalnya dalam bencana letusan gunung api, longsor, banjir bandang, dll.
Sebagai organisasi yang berperan dalam merespon kegiatan kemanusiaan. RANITA UIN Jakarta juga memiliki riwayat upaya untuk membantu kegiatan sekolah darurat bagi anak-anak penyintas bencana seperti di wilayah Tsunami Palu, Gempa Bumi Lombok, Erupsi Semeru dll.
Sumber: Dirjen Dikdasmen, 2018. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dalam situasi darurat. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.
Penulis: Yogi Handika_KMPLHK RANITA
Editor: Sindy Indah_KMPLHK RANITA